Kamis, 24 September 2015

The Culture Industry : Enlightenment as Mass Deception

Industri kebudayaan = Sistem Politik Liberal

Interaksi secara kultural terhadap perkembangan media massa seperti film, radio dan majalah menyusun sebuah sistem yang seragam secara keseluruhan. Industri dekoratif dan pameran berpusat pada negara-negara otoriter, monopoli kebudayaan massa sangat indentik dan garis-garis kerangka kerja artifisialnya ditunjukkan. Teknologi industri kebudayaan tidak lebih dari standarisasi dan produksi massa, dengan mengorbankan pembedaan antara logika kerja dan logika sistem sosial. Perbedaan tampak nyata ketika industri kebudayaan memainkan peran subjek dan liberal, semua partisipan menjadi pendengar dan secara otoritatif menundukkan mereka untuk menyiarkan program yang sama persis. Kesatuan yang kejam di dalam industri kebudayaan adalah bukti apa yang terjadi di dalam politik. Publik dilayani dengan sejumlah hirarki industri kebudayaan, setiap orang harus bertingkah laku sesuai dengan yang ditentukan dan disusun sebelumnya. Media teknik dipaksa untuk seragam, dan televisi sebagai sintesis dari radio dan film. Manusia harus menerima apa yang ditawarkan oleh pabrik kebudayaan kepadanya, perkembangan industri kebudayaan menyebabkan dominasi efek, sentuhan yang nyata dan detail teknik.

Film memaksa korbannya menyamakan secara langsung realitas yang terjadi pada penonton, artinya apa yang di tampilkan dalam film merupakan refleksi dari penontonnya. Dalam industri kebudayaan setiap unsur persoalan mempunyai asal usul alat yang sama sebagai jargon, dan gagasan tentang gaya genuin dipandang sebagai kesamaan estetik dari dominasi. Dalam kehidupan nyata, persaingan politik terjadi di ranah media massa. Pemegang kepentingan seakan menjadi otoriter terhadap pembentukan opini publik. Di Indonesia sendiri, dua pemilik media massa merepresentasikan kepentingan partai politiknya masing-masing. Pada masa kampanye pemilihan presiden 2014, kedua media massa tersebut berlomba-lomba menjatuhkan image lawan melalui black campaign. Pencitraan yang dikampanyekan oleh salah satu kandidat, menumbuhkan empati publik karena terekam intimasi calon presiden terhadap kaum proletar baik di media massa maupun media sosial.

Semakin kuat industri budaya, semakin erat ikatannya dengan publik sehingga industri budaya diyakini dapat memonopoli, membentuk, mengontrol dan mendidik mereka. “To be an entertained means to be in agreement”, sesuai dengan kutipan tersebut, publik sepakat mengesampingkan kultur dan norma yang dianggap luhur dalam hierarki sosial menjadi tidak diperhitungkan dalam industri hiburan. Seni hiburan diartikan sebagai pemikiran diluar nalar, penanggalan realitas hidup bahkan ketika karya seni tersebut ditampilkan. Kini, karya seni dapat diproduksi secara massal sehingga mengurangi orisinalitas seni itu sendiri. Reproduksi seni menjadikan industri hiburan sebagai komoditas yang dikomersialkan. Pergeseran fungsi ini tak lagi mengelompokan publik berdasarkan status sosialnya, sebagai contoh, musik Jazz tak lagi dimiliki oleh kaum borjuis seorang, namun juga milik publik dari berbagai status sosial.

Standarisasi menjadi metode utama yang digunakan industri kapitalis, dimana industri budaya menghasilkan berbagai bentuk produknya. Kebebasan publik dalam memilih produk industri tersebut menciptakan pseudoindividuality yang berarti keseragaman semu. Publik seakan-akan memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri, tetapi sesungguhnya kaum kapitalis telah mengklasifikasikan opsinya. Jika pada mulanya industri budaya dianggap sebagai pencerahan, namun pada akhirnya hal ini merupakan kebohongan publik semata. Tujuannya publik didoktrin untuk produktif namun bersifat konsumtif, sehingga menghasilkan generasi kapitalis baru.

The Work of Art in the Age Of Mechanical Reproduction - Walter Benjamin

Tulisan Walter Benjamin yang berjudul The Work of Art in the Age Of Mechanical Reproduction ini memuat berbagai perubahan budaya pada masyarakat sosial modern, khususnya berkembangnya media-media baru dalam seni serta perkembangan teknologi budaya visual. Awal bab menjelaskan tentang reproduksi woodcut graphic art yang menjadi pelopor pertama reproduksi mekanis. Kemudian, menyusul Litografi yang menandai awal babak baru. Setelah itu munculah media fotografi, perekaman suara, hingga media film yang mempunyai standarisasi reproduksi teknis baik dalam transmisi karya seni maupun proses artistik. Melalui reproduksi teknis tersebut, konsep autentisitas berhubungan langsung dengan orisinalitas.

Proses reproduksi teknis lebih menyerupai bentuk dari originalnya dibandingkan dengan proses secara manual. Hal demikian merupakan salah satu contoh dari media baru dalam seni yakni fotografi. Adanya reproduksi merusak autentisitas, karena karya seni bisa dinikmati sepanjang waktu. Elemen yang hilang itulah yang disebut dengan aura, reproduksi mekanis telah menghilangkan aura sebuah karya seni. Teknik reproduksi menjauhkan obyek yang direproduksi dari ranah tradisinya. Konsep aura yang digambarkan Benjamin dipahami sebagai ritual karya seni. Ia menganggap bahwa nilai keunikan autentisitas karya seni memiliki dasar dalam, dan merupakan sebuah pijakan awal dari nilai guna aslinya.

Benjamin berpendapat bahwa karya seni memiliki dua tipe yang saling berlawanan, yakni nilai kultus Cult Value dan nilai eksibisi Exhibition Value. Definisi Cult Value ialah orang jaman dulu memahat, membuat patung-patung berhala untuk dijadikan sarana pemujaan yang disakralkan dari nilai keillahiannya. Namun hal tersebut berbanding terbalik pada era teknologi, karya seni dengan mudah digandakan maupun direproduksi kembali sehingga terjadi adanya pergeseran nilai dari Cult Value ke nilai Exhibition Value. Fungsi artistik karya seni itupun kemudian berubah dengan kehadiran alat-alat teknis yang mampu mereproduksi karya seni secara insta, contohnya media fotografi dan film. Dalam fotografi nilai pameran mulai menggantikan nilai pemujaan secara keseluruhan. Nilai pameran untuk pertama kalinya menunjukkan keunggulannya atas ritual value.

Dalam film, hal yang paling utama adalah bagaimana aktor mewakili dirinya di hadapan publik melalui kamera, bukan melalui orang lain. Peralatan mekanik sudah menembus realitas sedemikian dalam sehingga mengurangi aspek aslinya. Realita yang terbebas dari peralatan disini sudah menjadi puncak dari kepalsuan, realita yang benar-benar terjadi sudah menjadi langka di tengah hamparan teknologi. Perbandingan ini akan semakin lebih jelas jika dibandingkan dengan konstruksi realita di dalam lukisan. Seorang pelukis menjaga keaslian karyanya dengan menjaga jarak dengan realita, sementara juru kamera memilih untuk penetrasi ke dalam jaringan realita tersebut. Pelukis menghadirkan realita dari sebuah karyanya, sementara realita juru kamera berasal dari bagian-bagian gambar yang disusun sesuai skenario. Inilah yang bisa diharapkan seseorang dari sebuah karya seni.

Mari kita membandingkan layar film dengan kanvas lukisan. Lukisan mengundang penonton untuk berkontemplasi, sebelum penonton dapat meninggalkan dirinya untuk asosiasinya. Sebelum frame film tidak dapat melakukan seperti halnya lukisan. Tidak lama matanya memahami gambar, adegan itu sudah berubah. Kuantitas telah mengalami perubahan menjadi kualitas, permasalahan karya seni masa kini dalam bentuk yang baru.