Kamis, 24 September 2015

The Work of Art in the Age Of Mechanical Reproduction - Walter Benjamin

Tulisan Walter Benjamin yang berjudul The Work of Art in the Age Of Mechanical Reproduction ini memuat berbagai perubahan budaya pada masyarakat sosial modern, khususnya berkembangnya media-media baru dalam seni serta perkembangan teknologi budaya visual. Awal bab menjelaskan tentang reproduksi woodcut graphic art yang menjadi pelopor pertama reproduksi mekanis. Kemudian, menyusul Litografi yang menandai awal babak baru. Setelah itu munculah media fotografi, perekaman suara, hingga media film yang mempunyai standarisasi reproduksi teknis baik dalam transmisi karya seni maupun proses artistik. Melalui reproduksi teknis tersebut, konsep autentisitas berhubungan langsung dengan orisinalitas.

Proses reproduksi teknis lebih menyerupai bentuk dari originalnya dibandingkan dengan proses secara manual. Hal demikian merupakan salah satu contoh dari media baru dalam seni yakni fotografi. Adanya reproduksi merusak autentisitas, karena karya seni bisa dinikmati sepanjang waktu. Elemen yang hilang itulah yang disebut dengan aura, reproduksi mekanis telah menghilangkan aura sebuah karya seni. Teknik reproduksi menjauhkan obyek yang direproduksi dari ranah tradisinya. Konsep aura yang digambarkan Benjamin dipahami sebagai ritual karya seni. Ia menganggap bahwa nilai keunikan autentisitas karya seni memiliki dasar dalam, dan merupakan sebuah pijakan awal dari nilai guna aslinya.

Benjamin berpendapat bahwa karya seni memiliki dua tipe yang saling berlawanan, yakni nilai kultus Cult Value dan nilai eksibisi Exhibition Value. Definisi Cult Value ialah orang jaman dulu memahat, membuat patung-patung berhala untuk dijadikan sarana pemujaan yang disakralkan dari nilai keillahiannya. Namun hal tersebut berbanding terbalik pada era teknologi, karya seni dengan mudah digandakan maupun direproduksi kembali sehingga terjadi adanya pergeseran nilai dari Cult Value ke nilai Exhibition Value. Fungsi artistik karya seni itupun kemudian berubah dengan kehadiran alat-alat teknis yang mampu mereproduksi karya seni secara insta, contohnya media fotografi dan film. Dalam fotografi nilai pameran mulai menggantikan nilai pemujaan secara keseluruhan. Nilai pameran untuk pertama kalinya menunjukkan keunggulannya atas ritual value.

Dalam film, hal yang paling utama adalah bagaimana aktor mewakili dirinya di hadapan publik melalui kamera, bukan melalui orang lain. Peralatan mekanik sudah menembus realitas sedemikian dalam sehingga mengurangi aspek aslinya. Realita yang terbebas dari peralatan disini sudah menjadi puncak dari kepalsuan, realita yang benar-benar terjadi sudah menjadi langka di tengah hamparan teknologi. Perbandingan ini akan semakin lebih jelas jika dibandingkan dengan konstruksi realita di dalam lukisan. Seorang pelukis menjaga keaslian karyanya dengan menjaga jarak dengan realita, sementara juru kamera memilih untuk penetrasi ke dalam jaringan realita tersebut. Pelukis menghadirkan realita dari sebuah karyanya, sementara realita juru kamera berasal dari bagian-bagian gambar yang disusun sesuai skenario. Inilah yang bisa diharapkan seseorang dari sebuah karya seni.

Mari kita membandingkan layar film dengan kanvas lukisan. Lukisan mengundang penonton untuk berkontemplasi, sebelum penonton dapat meninggalkan dirinya untuk asosiasinya. Sebelum frame film tidak dapat melakukan seperti halnya lukisan. Tidak lama matanya memahami gambar, adegan itu sudah berubah. Kuantitas telah mengalami perubahan menjadi kualitas, permasalahan karya seni masa kini dalam bentuk yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar